ESSAY
( PRAKTEK HUKUM KEWARISAN DALAM
MASYARAKAT ACEH )
Sistem
kewarisan dalam masyarakat Aceh, terkenal menganut sistem kekerabatan
parental/bilateral-individual. Dalam kehidupan masyarakat Aceh adat istiadat
merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan serta agama, sehingga ada
pepatah Aceh mengatakan bahwa “Adat ngeun
hukum hanjeut cree, lagee dzat ngon sifeut ( adat / kebiasaan dengan hukum / nash-qath’iy
tidak boleh berpisah bagaikan zat dan sifat )”. Agama Islam menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh, sehingga
hampir dipastikan tidak bisa membedakan antara adat dan agama karena telah
menyatu keduanya, masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi kedudukan agama
dalam kehidupan sehari-harinya. Dan ini berlaku pada setiap aktifitas
masyarakat Aceh termasuk pada sistem kewarisan masyarakat Aceh.
Aceh terdiri dari beberapa suku,
ada suku Gayo, suku Alas dan lain sebagainya, dan dari kesemuanya ini bisa
terajadi perbedaan dalam praktek hukum kewarisannya, baik antar suku maupun
antar wilayahnya. Yang saya ketahui khususnya didaerah kota Langsa, sebenarnya
pada parkateknya masyarakat aceh jika membahas persoalan kekerabatan lebih
kepada garis keturunan laki-laki disini bisa kita simpulkan dari keturunan
Teuku/Cut sebagai contohnya. Apaabila seorang perempuan yang bergelar Cut tidak
menikah dengan laki-laki yang bergelar Teuku maka anak-anaknya tidak lagi
bergelar Teuku/Cut, sedangkan apabila seorang laki-laki bergelar Teuku menikah
dengan seorang perempuan yang tidak begelar Cut atau bahkan diluar suku Aceh,
anak-anaknya tetap bisa menggunakan gelar Teuku/Cut.
Namun dikenal oleh orang banyak
bahwa aceh menganut sistem kekerabatan parental/bilateral bahkan daerah dataran
rendahnya hampir mengarah ke matrilineal. Dalam hal pembagian harta warisan
baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak menerima harta warisan, dan
pada kenyataannya pula banyak masyarakat Aceh yang sebenarnya tidak mengenal
yang namanya sistem kekerabatan, yang jelas dalam kehidupan masyarakat Aceh apa
yang sesuai dalam perintah alqur’an dan agama maka seperti itulah yang
diterapkan. Sehingga dalam ahli waris walapun dinyatakan secara adat namun
pembagiannya tetap sama dengan yang telah tersebutkan didalam alqur’an (hukum
faraid).
Kewarisan dalam masyarakat Aceh,
ahli warisnya sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam hukum faraid meskipun
pada pembagian hartanya terkadang tidak harus sesuai dengan hukum faraid, bisa
jadi sesuai kesepakatan bersama. Namun ada juga masyarakat Aceh yang
beranggapan bahwa pembagian secara hukum Islam yang dianggap paling benar,
sehinnga jika orang yang dianggap mengerti/paham agama haruslah berdasarkan
ketentuan faraid karena ini hukum Allah yang mengatur, dan dianggap paling
sempurna dibanding hukum lain karrena itu hanya ketentuan dari manusia saja,
yang belum tentu baik untuk kedepannya. Adapun syarat-syarat orang yang berhak
menerima harta warisan sama seperti hal hukum faraid yaitu:
1. Beragama
Islam.
2. Dalam
keadaan hidup pada saat meninggalnya pewaris.
3. Mempunyai hubungan keluarga atau darah dengan
pewaris.
4. Mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris.
5. Tidak
terhalang karena hukum (membunuh atau mencoba membunuh/menganiaya berat pewaris/memfitnah
pewaris yang menjadikankan pewaris dihukum penjara lima tahun atau lebih
berat).
Begitu
juga ahli-ahli warisnya juga sesuai
dengan hukum faraid, bisa dibedakan menjadi golongan berdasarkan jenis
kelaminnya yaitu:
Ahli waris laki-laki, terdiri dari : Ayah, Kakek dan
seterusnya keatas dari garis laki-laki, Anak laki-laki, Cucu laki-laki dan
seterusnya ke bawah dari garis laki-laki, Saudara laki-laki kandung, Saudara
laki-laki seayah, Saudara laki-laki seibu, Kemenakan laki-laki kandung dan
seterusnya ke bawah dari garis laki-laki, Kemenakan laki-laki seayah dan
seterusnya ke bawah dari garis laki-laki, Paman kandung dan seterusnya keatas dari
garis laki-laki, Paman seayah dan seterusnya keatas dari garis laki-laki, Saudara
sepupu laki-laki kandung dan seterusnya kebawah
dari garis laki-laki dan anak paman ayah, anak paman kakek dan seterusnya, dan
anak-anak dari keturunannya dari garis laki-laki, Saudara sepupu laki-laki
seayah dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki, Suami.
Ahli waris perempuan terdiri dari : Ibu, Nenek dan
seterusnya keatas dari garis perempuan, Nenek dan seterusnya keatas dari garis
perempuan, Anak perempuan, Cucu perempuan dan seterusnya kebawah dari garis
laki-laki, Saudara perempuan kandung, Saudara perempuan seayah, Saudara
perempuan, Isteri
Adapun harta yang mejadi harta warisan dalam
masyarakat aceh pada kebiasaanya seperti: tanah, sawah, rumah, kebun,
perhiasan, pohon-pohon kelapa, tambak dan lain sebagainya. Pada umumnya seperti
alat-alat perabotan rumah tangga yaitu koleksi gelas-gelas, piring-pring dan
sebagainya diberikan kepada anak perempuan, begitu juga halnya perhiasan
diberikan kepada anak perempuan. Karena kebiasaan masyarakata aceh suka
mengoleksi yang berbahan kuningan atau bahkan emas, sampai bros dan uang logam
dari emas pun dikoleksi, secara tidak langsung dan sudah menjadi kebiasaan
tanpa di musyawarah pun, barang-barang tersebut sudah diketahui akan diberikan
kesiapa, yaitu untuk anak perempuan. Dan rumah pun adakalanya seperti itu,
banyak dalam parkteknya dimasyarakat Aceh rumah pun terkadang diberikan untuk
adiknya yang perempuan. Kalaupun harta yang ditinggalkan hanyalah sebuah rumah
maka rumah tersebut setidaknya dibeli oleh yang termasuk ahli waris juga sehingga
harta warisan tersebut tidak jatuh ketangan orang lain, kemudian uang pembelian
tersebut barulah dibagi, bisa jadi dua banding satu atau bisa juga bagi sama
rata antara anak laik-laki maupun anak perempuan.
Dalam kehidupan masyarakat aceh dikenal juga istilah
areuta peunulang, istilah ini
merupakan suatu bentuk pemberian harta orang tua terhadap anak perempuannya
yang sudah menikah. Di aceh apabila seorang agam
(laki-laki) dan inoeng (perempuan)
menikah maka mereka akan tinggal dirumah orang tua pihak perempuan. Kemuadian
setelah mereka pisah dari orang tuanya maka orang tua dari siperempuan
memberikan dari sebagian hartanya, bisa berupa rumah, emas, perhiasan,
kebun,sawah, pekarangan dan sebagainya, yang tidak boleh lebih dari 1/3 harta
orang tuanya. Jadi anak perempuan disamping tetap menjadi ahli waris, yang
secara otomatis anak perempuan tersebut tetap berhak atas harta warisan, anak
perempuan juga mendapatkan areuta
penulang setelah menikah, harta ini dianggap menjadi bekal bagi kehidupan
anak perempuan tersebut, jikalau suatu saat suami meninggalkannya maka anak
perempuan masih memiliki harta untuk kehidupannya. Melihat hal ini menurut
hemat saya terkadang anak perempuan lebih banyak menerima harta dari orang
tuanya, dan ini juga sesuai dengan konsep yang dikatakan disebagian daerah Aceh
yang telah tersebut diatas bahwa sistem kekerabatannya bahkan bisa dikatakan
mengarah pada matrilineal.
Selanjutnya mengenai persoalan anak angkat dan anak
tiri, pada dasarnya mereka tidak berhak menerima harta warisan, karena mereka
tidak termasuk dalam ahli waris. Namun mereka bisa jadi mendapatkan sebagian
kecil dari harta tersebut dengan cara hibah, jadi pemberiannya melalui jalan
hibah. Dalam hal ini masyarakat Aceh juga mengenal istilah silapeh gafan (kain kafan pembungkus mayit), yang dimaksud
adalah medapatkan sebagian kecil dari
harta, dan ini merupakan kata kiasan yang
tujuannya hanya untuk memperhalus tutur dalam berbicara sebagai wujud untuk
merendahkan hati, padahal harta yang dihibahkan kepada anak angkat atau anak
tiri cukup besar. Sebagai contoh dalam acara kenduri dihadapan orang banyak
orang tua angkat atau tiri tersebut mengatakan akan menghibahkan hartanya hanya
silapeh gafan saja, padahal pada
realitanya harta yang dihibahkan cukup banyak.
Dalam penyelesaian sengketa waris pada masyarakat
Aceh secara adatnya, ada yang namanya lembaga adat Aceh untuk menyelesaikan
sengketa tersebut disamping ada Pengadilan Agama, yang di Aceh dikenal dengan Mahkamh Syar’iyyah. Lembaga adat biasanya
ditingkat gampoeng seperti Keuchik, Imeum Meunasah atau perangkat
gampoeng lainnya. Kegiatan yang melibatkan perangkat gampoeng ini juga di perkuat dengan adanya ketentuan yang mengatur
pada Pasal 12 Qanun Nomor 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat,
bahwa Keuchik dan Imeum Meunasah adalah pimpinan rapat adat
gampong, dan memang biasanya masyarakat Aceh pun sebagian besar dalam
menyelesaikan sengketa waris lebih menggunakan lembaga adat tersebut ketimbang
Makamah Syar’iyyah. Dalam penyelesaian secara adat tetap mengupayakan melalui
musyawarah, sehingga tidak ada pihak yang menang dan tidak ada pihak yang
kalah, karena semuanya didasari oleh kesepakatan bersama dan berdamai itu lebih
indah. Namun meskipun demikian tidak menutup kemugkinan pula kalau tetap ada
juga yang persengketaanya sampai pada Mahkamah Syar’iyyah, dan jika sudah
samapai pada pengadilan, dinilai persoalan tersebut memang sudah tidak bisa
lagi diselesaikan memalui perdamaian. Namun jika kita membandingkan antara
menggunakan sistem adat dan juga pengadilan dalam meyelesaikan sengketa, jelas
lebih menguntungkan melalau jalur kelembagaan adat, karena dinilai lebih
ekonomis, dan cepat tidak membutuhkan waktu yang lama, serta antara pihak-pihak
yang bersangkutan tidak ada yang merasa kalah atau pun menang karena didasari
dengan kesepakatan, sehingga tetap hidup rukun, dan tidak ada yang merasa pihak
yang dirugikan.
REFERENSI
http://hipatioss.blogspot.co.id/2014/10/analisis-yuridis-proses-perkawinan-dan.html, Diakses Tanggal 28 Aprl 2016,
Pukul 17:31.
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/945/sistem-kekerabatan-suku-tamiang, Diakses Tanggal 28 April 2016,
Pukul 17:33.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/47420/3/Chapter%20II.pdf , Diakses Tanggal 28 April 2016,
Pukul 7:34 Wib.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/47720/6/Abstract.pdf, Diakses Tanggal 28 April 2016,
Pukul 17:29.
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2014/02/HAK-WARIS
PEREMPUAN-PERWALIAN.pdf, Diakses Tanggal 28 April 2016, Pukul 7:26
https://www.researchgate.net/publication/43405157_Kedudukan_Anak_Angkat
Dalam_Hukum waris_Adat_Pada_Masyarakat_Aceh Studi_Kabupaten_Aceh_Barat, Diakses Tanggal 28 April 2016,
Pukul 16:54 Wib.
Mansur,
Yahya M. Lupa tahun. Sistem Kekerabatan
dan Pola Pewarisan. PT Pustaka Graika Kita: Jakarta.
Sirajuddin.
2010. Pemberlakuan Syari’at Islam : Di
Nanggroe Aceh Darussalam Pasca Reformasi. Teras: Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar