Senin, 12 Desember 2016

kewarisan adat aceh



ESSAY
( PRAKTEK HUKUM KEWARISAN DALAM MASYARAKAT ACEH )
Sistem kewarisan dalam masyarakat Aceh, terkenal menganut sistem kekerabatan parental/bilateral-individual. Dalam kehidupan masyarakat Aceh adat istiadat merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan serta agama, sehingga ada pepatah Aceh mengatakan bahwa “Adat ngeun hukum hanjeut cree, lagee dzat ngon sifeut ( adat / kebiasaan dengan hukum / nash-qath’iy tidak boleh berpisah bagaikan zat dan sifat )”. Agama Islam  menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh, sehingga hampir dipastikan tidak bisa membedakan antara adat dan agama karena telah menyatu keduanya, masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi kedudukan agama dalam kehidupan sehari-harinya. Dan ini berlaku pada setiap aktifitas masyarakat Aceh termasuk pada sistem kewarisan masyarakat Aceh.
Aceh terdiri dari beberapa suku, ada suku Gayo, suku Alas dan lain sebagainya, dan dari kesemuanya ini bisa terajadi perbedaan dalam praktek hukum kewarisannya, baik antar suku maupun antar wilayahnya. Yang saya ketahui khususnya didaerah kota Langsa, sebenarnya pada parkateknya masyarakat aceh jika membahas persoalan kekerabatan lebih kepada garis keturunan laki-laki disini bisa kita simpulkan dari keturunan Teuku/Cut sebagai contohnya. Apaabila seorang perempuan yang bergelar Cut tidak menikah dengan laki-laki yang bergelar Teuku maka anak-anaknya tidak lagi bergelar Teuku/Cut, sedangkan apabila seorang laki-laki bergelar Teuku menikah dengan seorang perempuan yang tidak begelar Cut atau bahkan diluar suku Aceh, anak-anaknya tetap bisa menggunakan gelar Teuku/Cut.
Namun dikenal oleh orang banyak bahwa aceh menganut sistem kekerabatan parental/bilateral bahkan daerah dataran rendahnya hampir mengarah ke matrilineal. Dalam hal pembagian harta warisan baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak menerima harta warisan, dan pada kenyataannya pula banyak masyarakat Aceh yang sebenarnya tidak mengenal yang namanya sistem kekerabatan, yang jelas dalam kehidupan masyarakat Aceh apa yang sesuai dalam perintah alqur’an dan agama maka seperti itulah yang diterapkan. Sehingga dalam ahli waris walapun dinyatakan secara adat namun pembagiannya tetap sama dengan yang telah tersebutkan didalam alqur’an (hukum faraid).
Kewarisan dalam masyarakat Aceh, ahli warisnya sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam hukum faraid meskipun pada pembagian hartanya terkadang tidak harus sesuai dengan hukum faraid, bisa jadi sesuai kesepakatan bersama. Namun ada juga masyarakat Aceh yang beranggapan bahwa pembagian secara hukum Islam yang dianggap paling benar, sehinnga jika orang yang dianggap mengerti/paham agama haruslah berdasarkan ketentuan faraid karena ini hukum Allah yang mengatur, dan dianggap paling sempurna dibanding hukum lain karrena itu hanya ketentuan dari manusia saja, yang belum tentu baik untuk kedepannya. Adapun syarat-syarat orang yang berhak menerima harta warisan sama seperti hal hukum faraid yaitu:
1.      Beragama Islam.
2.      Dalam keadaan hidup pada saat meninggalnya pewaris.
3.       Mempunyai hubungan keluarga atau darah dengan pewaris.
4.       Mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris.
5.      Tidak terhalang karena hukum (membunuh atau mencoba membunuh/menganiaya berat pewaris/memfitnah pewaris yang menjadikankan pewaris dihukum penjara lima tahun atau lebih berat).
Begitu juga ahli-ahli  warisnya juga sesuai dengan hukum faraid, bisa dibedakan menjadi golongan berdasarkan jenis kelaminnya yaitu:
Ahli waris laki-laki, terdiri dari : Ayah, Kakek dan seterusnya keatas dari garis laki-laki, Anak laki-laki, Cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki, Saudara laki-laki kandung, Saudara laki-laki seayah, Saudara laki-laki seibu, Kemenakan laki-laki kandung dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki, Kemenakan laki-laki seayah dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki, Paman kandung dan seterusnya keatas dari garis laki-laki, Paman seayah dan seterusnya keatas dari garis laki-laki, Saudara sepupu laki-laki kandung  dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki dan anak paman ayah, anak paman kakek dan seterusnya, dan anak-anak dari keturunannya dari garis laki-laki, Saudara sepupu laki-laki seayah dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki, Suami.
Ahli waris perempuan terdiri dari : Ibu, Nenek dan seterusnya keatas dari garis perempuan, Nenek dan seterusnya keatas dari garis perempuan, Anak perempuan, Cucu perempuan dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki, Saudara perempuan kandung, Saudara perempuan seayah, Saudara perempuan, Isteri
Adapun harta yang mejadi harta warisan dalam masyarakat aceh pada kebiasaanya seperti: tanah, sawah, rumah, kebun, perhiasan, pohon-pohon kelapa, tambak dan lain sebagainya. Pada umumnya seperti alat-alat perabotan rumah tangga yaitu koleksi gelas-gelas, piring-pring dan sebagainya diberikan kepada anak perempuan, begitu juga halnya perhiasan diberikan kepada anak perempuan. Karena kebiasaan masyarakata aceh suka mengoleksi yang berbahan kuningan atau bahkan emas, sampai bros dan uang logam dari emas pun dikoleksi, secara tidak langsung dan sudah menjadi kebiasaan tanpa di musyawarah pun, barang-barang tersebut sudah diketahui akan diberikan kesiapa, yaitu untuk anak perempuan. Dan rumah pun adakalanya seperti itu, banyak dalam parkteknya dimasyarakat Aceh rumah pun terkadang diberikan untuk adiknya yang perempuan. Kalaupun harta yang ditinggalkan hanyalah sebuah rumah maka rumah tersebut setidaknya dibeli oleh yang termasuk ahli waris juga sehingga harta warisan tersebut tidak jatuh ketangan orang lain, kemudian uang pembelian tersebut barulah dibagi, bisa jadi dua banding satu atau bisa juga bagi sama rata antara anak laik-laki maupun anak perempuan.
Dalam kehidupan masyarakat aceh dikenal juga istilah areuta peunulang, istilah ini merupakan suatu bentuk pemberian harta orang tua terhadap anak perempuannya yang sudah menikah. Di aceh apabila seorang agam (laki-laki) dan inoeng (perempuan) menikah maka mereka akan tinggal dirumah orang tua pihak perempuan. Kemuadian setelah mereka pisah dari orang tuanya maka orang tua dari siperempuan memberikan dari sebagian hartanya, bisa berupa rumah, emas, perhiasan, kebun,sawah, pekarangan dan sebagainya, yang tidak boleh lebih dari 1/3 harta orang tuanya. Jadi anak perempuan disamping tetap menjadi ahli waris, yang secara otomatis anak perempuan tersebut tetap berhak atas harta warisan, anak perempuan juga mendapatkan areuta penulang setelah menikah, harta ini dianggap menjadi bekal bagi kehidupan anak perempuan tersebut, jikalau suatu saat suami meninggalkannya maka anak perempuan masih memiliki harta untuk kehidupannya. Melihat hal ini menurut hemat saya terkadang anak perempuan lebih banyak menerima harta dari orang tuanya, dan ini juga sesuai dengan konsep yang dikatakan disebagian daerah Aceh yang telah tersebut diatas bahwa sistem kekerabatannya bahkan bisa dikatakan mengarah pada matrilineal.
Selanjutnya mengenai persoalan anak angkat dan anak tiri, pada dasarnya mereka tidak berhak menerima harta warisan, karena mereka tidak termasuk dalam ahli waris. Namun mereka bisa jadi mendapatkan sebagian kecil dari harta tersebut dengan cara hibah, jadi pemberiannya melalui jalan hibah. Dalam hal ini masyarakat Aceh juga mengenal istilah silapeh gafan (kain kafan pembungkus mayit), yang dimaksud adalah  medapatkan sebagian kecil dari harta, dan ini merupakan  kata kiasan yang tujuannya hanya untuk memperhalus tutur dalam berbicara sebagai wujud untuk merendahkan hati, padahal harta yang dihibahkan kepada anak angkat atau anak tiri cukup besar. Sebagai contoh dalam acara kenduri dihadapan orang banyak orang tua angkat atau tiri tersebut mengatakan akan menghibahkan hartanya hanya silapeh gafan saja, padahal pada realitanya harta yang dihibahkan cukup banyak.
Dalam penyelesaian sengketa waris pada masyarakat Aceh secara adatnya, ada yang namanya lembaga adat Aceh untuk menyelesaikan sengketa tersebut disamping ada Pengadilan Agama, yang di Aceh dikenal dengan Mahkamh Syar’iyyah. Lembaga adat biasanya ditingkat gampoeng seperti Keuchik, Imeum Meunasah atau perangkat gampoeng lainnya. Kegiatan yang melibatkan perangkat gampoeng ini juga di perkuat dengan adanya ketentuan yang mengatur pada Pasal 12 Qanun Nomor 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, bahwa Keuchik dan Imeum Meunasah adalah pimpinan rapat adat gampong, dan memang biasanya masyarakat Aceh pun sebagian besar dalam menyelesaikan sengketa waris lebih menggunakan lembaga adat tersebut ketimbang Makamah Syar’iyyah. Dalam penyelesaian secara adat tetap mengupayakan melalui musyawarah, sehingga tidak ada pihak yang menang dan tidak ada pihak yang kalah, karena semuanya didasari oleh kesepakatan bersama dan berdamai itu lebih indah. Namun meskipun demikian tidak menutup kemugkinan pula kalau tetap ada juga yang persengketaanya sampai pada Mahkamah Syar’iyyah, dan jika sudah samapai pada pengadilan, dinilai persoalan tersebut memang sudah tidak bisa lagi diselesaikan memalui perdamaian. Namun jika kita membandingkan antara menggunakan sistem adat dan juga pengadilan dalam meyelesaikan sengketa, jelas lebih menguntungkan melalau jalur kelembagaan adat, karena dinilai lebih ekonomis, dan cepat tidak membutuhkan waktu yang lama, serta antara pihak-pihak yang bersangkutan tidak ada yang merasa kalah atau pun menang karena didasari dengan kesepakatan, sehingga tetap hidup rukun, dan tidak ada yang merasa pihak yang dirugikan. 





















REFERENSI

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/47420/3/Chapter%20II.pdf , Diakses Tanggal 28 April 2016, Pukul 7:34 Wib.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/47720/6/Abstract.pdf, Diakses Tanggal 28 April 2016, Pukul 17:29.
Mansur, Yahya M. Lupa tahun. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. PT Pustaka Graika Kita: Jakarta.
Sirajuddin. 2010. Pemberlakuan Syari’at Islam : Di Nanggroe Aceh Darussalam Pasca Reformasi. Teras: Yogyakarta.